Dua buah patung macan putih sebagai lambang keluarga
besar Pajajaran (keturunan Prabu Jaya Dewata (Silih Wangi) di taman
bunderan Dewandaru pada area utama keraton Kasepuhan di kesultanan
Kasepuhan
Keraton
Kasepuhan adalah keraton termegah
dan paling terawat di Cirebon. Makna di setiap sudut arsitektur keraton
ini pun terkenal paling bersejarah. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan
terdapat pendopo di
dalamnya.
Keraton Kasepuhan adalah
kerajaan islam tempat para pendiri cirebon bertahta, disinilah pusat
pemerintahan Kasultanan Cirebon berdiri.
Keraton ini memiliki museum yang
cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan.
Salah satu koleksi yaitu kereta Singa Barong yang
merupakan kereta kencana Sunan Gunung Jati. Kereta tersebut saat ini tidak lagi
dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Bagian dalam keraton ini
terdiri dari bangunan utama yang berwarna putih. Di dalamnya terdapat
ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja.
Sejarah
Keraton Kasepuhan berisi
dua komplek bangunan bersejarah yaitu Dalem Agung Pakungwati yang
didirikan pada tahun 1430 oleh Pangeran Cakrabuana dan komplek keraton
Pakungwati (sekarang disebut keraton Kasepuhan) yang didirikan oleh Pangeran Mas
Zainul Arifin pada tahun 1529 M. Pangeran Cakrabuana bersemayam di Dalem Agung
Pakungwati, Cirebon. Keraton Kasepuhan dulunya bernama 'Keraton Pakungwati.
Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran
Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung
Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua. Nama dia diabadikan
dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton
Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
Tata letak dan Arsitektur
Keraton Kasepuhan merupakan
salah satu dari bangunan peninggalankesultanan Cirebon yang masih terawat
dengan baik, seperti halnya keraton-keraton yang ada di wilayah Cirebon, bangunan
keraton Kasepuhan menghadap ke arah utara .
Di depan keraton Kesepuhan
terdapat alun-alun yang pada waktu zaman dahulu bernama alun-alun
Sangkala Buana yang merupakan tempat latihan keprajuritan yang
diadakan pada hari Sabtu atau istilahnya pada waktu itu adalah Saptonan dan
juga sebagai titik pusat tata letak kompleks pemerintahan keraton. Dan di alun-alun inilah
dahulunya dilaksanakan juga pentas perayaan kesultanan lalu juga sebagai tempat rakyat berdatangan
ke alun-alun untuk memenuhi panggilan ataupun mendengarkan pengumuman dari
Sultan.
Di sebelah barat Keraton
kasepuhan terdapat Masjid yang cukup megah hasil karya dari para wali yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Di sebelah timur alun-alun
dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar, sekarang
adalah pasar kesepuhan yang
sangat terkenal dengan teh pocinya.
Model bentuk keraton yang
menghadap utara dengan bangunan Masjid di sebelah barat dan pasar di sebelah
timur dan alun-alun ditengahnya merupakan model tata letak keraton pada masa
itu terutama yang terletak di daerah pesisir.
Bahkan sampai sekarang, model ini banyak diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di depan
gedung pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya terdapat masjid.
·
Gerbang depan keraton
Keraton Kasepuhan memiliki
dua buah pintu gerbang, pintu gerbang utama keraton Kasepuhan terletak di
sebelah utara dan pintu gerbang kedua berada di selatan kompleks. Gerbang utara
disebut Kreteg Pangrawit (bahasa Indonesia: jembatan kecil)
berupa jembatan, sedangkan di sebelah selatan disebut Lawang sanga (bahasa
Indonesia : pintu sembilan). Setelah melewati Kreteg Pangrawit akan
sampai di bagian depan keraton, di bagian ini terdapat dua bangunan yaitu Pancaratna dan Pancaniti.
Bangunan Pancaratna berada
di kiri depan kompleks arah barat berdenah persegi panjang dengan ukuran 8 x 8
m. Lantai tegel, konstruksi atap ditunjang empat sokoguru di atas lantai yang
lebih tinggi dan 12 tiang pendukung di permukaan lantai yang lebih rendah. Atap
dari bahan genteng, pada puncaknya terdapat mamolo. Bangunan ini berfungsi
sebagai tempat seba atau tempat yang menghadap para pembesar
desa yang diterima oleh Demang atau Wedana. Secara keseluruhan memiliki pagar
terali besi.
Pancaniti berarti
jalan atasan, merupakan pendopo sebelah timur yang merupakan tempat para perwira keraton
melatih para prajurit ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun dan
sebagai tempat pengadilan. Bangunan ini berukuran 8 x 8 m, berantai tegel.
Bangunan ini terbuka tanpa dinding. Tiang-tiang yang berjumlah 16 buah
mendukung atap sirap. Bangunan ini memiliki pagar terali besi.
·
Area Siti Inggil
Foto Siti Inggil Kraton Kasepuhan
pada sekitar tahun 1920 hingga 1933 yang diambil oleh juru kamera Georg
Friedrich Johannes Bley
Bangunan Mande Pengiring (tempat
duduk bagi para pengiring Sultan) pada kompleks keraton Kasepuhan
Bangunan Mande
Karesmen pada kompleks keraton Kasepuhan terlihat paraWiyaga (penabuh
gamelan) sedang berdiskusi disela-sela prosesi penabuhan gong Sekatipada
Idul Fitri 2014, dari jajaran Wiyagaterlihat Ki Waryo
(anak dari Ki Empek) duduk paling kanan, Ki Adnani
dan kemudian Ki Encu
Memasuki jalan kompleks
Keraton di sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi dengan tembok bata kokoh di
sekelilingnya. Bangunan ini bernama Siti Inggil atau dalam
bahasa Cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur yaitu tanah
yang tinggi. Sesuai dengan namanya bangunan ini memang tinggi dan nampak
seperti kompleks candi pada zaman Majapahit.
Bangunan ini didirikan pada tahun 1529, pada masa
pemerintahan Syekh Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Di pelataran depan Siti
Inggil terdapat meja batu berbentuk segi
empat tempat bersantai. Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang dibuat
pada tahun 1800-an. Siti Inggil memiliki dua gapura dengan motifbentar bergaya
arsitek zaman Majapahit. Di sebelah utara bernama Gapura Adi dengan
ukuran 3,70 x 1,30 x 5 m sedangkan di sebelah selatan bernama Gapura
Banteng dengan ukuran 4,50 x 9 m, pada sisi sebelah timurnya terdapat
bentuk banteng. Pada bagian bawah Gapura Banteng ini terdapat Candra
Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng yang
jika diartikan adalah tahun 1451.
Saka yang
merupakan tahun pembuatannya (1451 saka = 1529 M). Tembok bagian utara komplek
Siti Inggil masih asli sedangkan sebelah selatan sudah pernah mengalami
pemugaran/renovasi. Di dinding tembok kompleks Siti Inggil terdapat
piring-piring dan porslen-porslen yang berasal dari Eropa dan negeri Cina
dengan tahun pembuatan 1745 M.
Di dalam kompleks Siti
Inggil terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang memiliki nama dan fungsi
tersendiri.
Mande
Malang Semirang, bangunan utama yang terletak di tengah dengan
jumlah tiang utama 6 buah yang melambangkan rukun iman dan jika dijumlahkan
keseluruhan tiangnya berjumlah 20 buah yang melambangkan 20 sifat-sifat Allah
SWT. Bangunan ini merupakan tempat sultan melihat latihan keprajuritan atau
melihat pelaksanaan hukuman.
Mande
Pendawa Lima, bangunan di sebelah kiri bangunan utama dengan
jumlah tiang penyangga 5 buah yang melambangkan rukun islam. Bangunan ini
tempat para pengawal pribadi sultan.
Mande
Semar Tinandu, bangunan di sebelah kanan bangunan utama dengan 2
buah tiang yang melambangkan sua kalimat Syahadat. Bangunan ini
adalah tempat penasehat Sultan/Penghulu.
Mande
Pengiring, bangunan di belakang bangunan utama yang
merupakan tempat para pengiring Sultan
Mande
Karasemen, bangunan disebelah mande pangiring,
tempat ini merupakan tempat pengiring tetabuhan/gamelan. Di bangunan inilah
sampai sekarang masih digunakan untuk membunyikan gamelan Sekaten (Gong
Sekati), gamelan ini hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat Idul
Fitri dan Idul Adha.
Selain 5 bangunan tanpa
dinding terdapat juga semacam tugu batu yang berasal dari budaya Hindu bernama
Lingga Yoni yang merupakan lambang dari kesuburan (Lingga berarti laki-laki dan
Yoni berarti perempuan) dan bangunan Pengadayang berada tepat di
depan gerbang Pengada dengan ukuran 17 x 9,5 m yang berfungsi
sebagai tempat membagikan berkat dan tempat pemeriksaan sebelum menghadap raja
dan di atas tembok sekeliling kompleks Siti Inggil ini
terdapat Candi Laras untuk penyelaras dari kompleks Siti Inggil ini.
·
Area Tajug Agung
Tajug Agung (mushola agung)
Keraton Kasepuhan dengan pos Bedug Samogiri di sebelah kiri
Pada batas antara area siti
inggil dengan halaman tajug agung (mushola agung)
dibatasi oleh tembok bata. Pada tembok bata bagian utara terdapat dua gerbang
yaitu Regol Pengada dan gapura lonceng.
Regol Pengada merupakan
pintu gerbang masuk ke halaman selanjutnya dengan ukuran panjang dasar 5 x 6,5
m. Gerbang yang berbentuk paduraksa ini menggunakan batu dan daun pintunya dari
kayu. Gapura Lonceng terdapat di sebelah timur Gerbang Pangada dengan ukuran
panjang dasar 3,10 x 5 x 3 m. Gerbang ini berbenduk kori agung (gapura
beratap) menggunakan bahan bata. Area Tajug Agung ini terbagi
dua yaitu halaman Pengada dan halaman Tajug Agung yang
keduanya dipisahkan dengan tembok yang rendah.
Halaman Pengada berukuran
37 x 37 m, berfungsi untuk memarkirkan kendaraan atau menambatkan kuda pada
masa lalu. Di halaman ini dahulu ada sumur untuk memberi minum kuda.
Halaman Tajug Agung berukuran
37 x 17 m, merupakan halaman di mana terdapat bangunan Tajug Agung.
BangunanTajug Agung menghadap ke arah timur.
Bangunan utama Tajug
Agung berukuran 6 x 6 m dengan luas teras 8 x 2,5 m. Bagian terasnya
berdinding kayu setengah dari permukaan lantai sementara setengah bagiannya
lagi diberi terali kayu. Dinding bangunan utama merupakan dinding tembok,
mihrabnya berbentuk melengkung berukuran 5 x 3 x 3 m. Di dalam mihrab terdapat
mimbar terbuat dari kayu berukuran 0,90 x 0,70 x 2 m. Atap Tajug Agung merupakan
atap tumpang dua dengan menggunakan sirap (bahasa
Cirebon : Tiritisan). Konstruksi atap disangga 4 tiang utama. Tajug
Agung ini berfungsi sebagai tempat ibadah kerabat keraton. Bangunan Tajug
Agung dilengkapi pula dengan Pos / tempat bedug Samogiri.
Pos
bedug Samogiri yang berada di depan Tajug Agung dan
menghadap ke timur ini berdenah bujursangkar berukuran 4 x 4 m yang di dalamnya
terdapat bedug. Pos bedug ini dibangun tanpa dinding dan atap berbentuk limas,
penutup atap didukung 4 tiang utama dan 5 tiang pendukung.
·
Area utama keraton Kasepuhan
Bangunan Lunjuk pada area utama
keraton Kasepuhan, berfungsi untuk melayani tamu, mencatat serta melaporkan
kepentingannya kepada Sultan
Area utama keraton
Kasepuhan merupakan area yang berisikan bangunan induk keraton Kasepuhan serta
bangunan penunjang lainnya, antara area utama keraton dengan area Tajug
Agung dibatasi tembok dengan gerbang berukuran 4x 6,5 x 4 m. Gerbang
tersebut dilengkapi dua daun pintu terbuat dari kayu, jika dibuka dan ditutup
akan berbunyi maka disebut pintu gledeg(bahasa Indonesia :
guntur). Di dalam area utama keraton ini terdapat beberapa bangunan di
antaranya ;
Taman
Dewandaru, berukuran 20 m2, Taman ini dikenal dengan nama
taman Bunderan Dewandaru karena bentuknya yang melingkar,
filosofi dari taman ini adalah bentuknya yang bulat melingkar tanpa terputus
mengartikan keseluruhan, nama Dewandaru / Dewadaru yang merupakan bahasa
Cirebon dapat diartikan sebagai Pinus Dewadarudalam bahasa
Indonesia, pohon Pinus Dewadaru sendiri terkait dengan kisah Rahwana yang
menculik dewi Shinta dan
bersembunyi di dalam hutan-hutan gelap yang banyak ditumbuhi pohon Lodra, Padmaka dan Dewadaru.
Di dalam tradisi hindu, hutan yang banyak ditumbuhi pohon Dewadaru biasa
digunakan para petapa untuk memohon berkah Siwa. Namun dalam
persfektif Cirebon makna Taman Dewandaru yang berbentuk lingkaran adalah
sebagai sebuah pangeling (bahasa Indonesia : pengingat)
agar manusia selalu mencari mereka yang masih tinggal di dalam kegelapan lalu
membawanya keluar dari sana menuju jalan yang terang yang diberkahi Allah swt.
Pada taman ini juga terdapat pohon Soko (lambang suka hati), dua buah patung
macan putih (lambang keluarga besar Pajajaran), meja dan dua buah bangku serta
sepasang meriam yang dinamakan meriam Ki Santomo dan Nyi
Santoni
Museum
Benda Kuno, berbentuk huruf "E" dan berada di
sebelah barat taman Dewandaru berfungsi sebagai tempat
penyimpanan benda kuno kesultanan Kasepuhan
Museum
Kereta, berukuran 13,5 x 11 m dan berada di sebelah timur
taman Dewandaru berfungsi sebagai tempat penyimpanan kereta
kencana kesultanan Kasepuhan
Tugu
Manunggal, batu berukuran pendek sekitar 50 cm, dikelilingi
pot bunga melambangkan Allah swt yang satu.
Lunjuk,
berukuran 10 x 7 m, berada di sebelah Tugu Manunggal berfungsi
melayani tamu dalam mencatat dan melaporkan urusannya menghadap raja.
Sri
Manganti, berbentuk bujursangkar, berada di sebelah tugu
manunggal. Bangunan ini terbuka tanpa dinding, atap berbentuk joglo dengan
genteng dan didukung dengan 4 tiang saka guru, 12 tiang tengah dan 12 tiang
luar. Langit-langit dipenuhi ukiran-ukiran yang berwarna putih dan coklat.
Bangunan ini berfungsi sesuai dengan namanya yaitu sebagai tempat menunggu
keputusan raja.
Bangunan
induk keraton, merupakan tempat Sultan melakukan kegiatan
kesultanan.
Bangunan
induk keraton
Kutagara Wadasan dan Kuncung yang
dibangun oleh Sultan Sepuh I Syamsudin Martawidjaja pada tahun 1678
Bangunan
Induk keraton, Bangunan induk keraton merupakan tempat Sultan
melakukan kegiatan kesultanan, di dalam bangunan ini terdapat beberapa ruangan
dengan fungsi yang berbeda, di antarannya :
Kutagara
Wadasan, berukuran lebar 2,5 m dan tinggi ± 2,5 m,
dibangun oleh Sultan Sepuh I Syamsudin Martawidjaja pada tahun 1678. Kutagara
Wadasan adalah gapura yang bercat putih dengan gaya
khas Cirebon, gaya Cirebon tampak pada bagian bawah kaki gapura yang berukiran
wadasan dan bagian atas dengan ukiran mega mendung. Arti ukiran tersebut
seseorang harus mempunyai pondasi yang kuat jika sudah menjadi pimpinan atau
sultan harus bisa mengayomi bawahan dan rakyatnya.
Kuncung,
berukuran 2,5 x 2,5 x 2,5 m dibangun oleh Sultan Sepuh I Syamsudin Martawidjaja
pada tahun 1678 yang digunakan parkir kendaraan sultan.
Jinem
Pangrawit, berfungsi sebagai tempat Pangeran Patih dan wakil
sultan dalam menerima tamu, nama Jinem Pangrawit berasal dari
kata jinem (bahasa Indonesia : tempat tugas) dan Pangrawit / Rawit (bahasa
Indonesia : kecil dan bagus), berlantai marmer, dinding tembok berwarna
putih dan dihiasi keramik Eropa. Atap didukung 4 tiang saka guru kayu dengan
umpak beton.
Gajah
Nguling, dibangun oleh Sultan Sepuh IX Radja Sulaeman pada
tahun 1845, yaitu ruangan tanpa dinding dan terdapat 6 tiang bulat bergaya tuscan setinggi
3 m. Lantai tegel dan langit-langit berwarna hijau, sesuai dengan namanya,
bentuk ruangan ini mengambil bentuk gajah yang sedang nguling (menguak)
dengan belalainya yang bengkok sehingga ruangan ini tidak memanjang lurus tapi
menyerong dan kemudian menyatu dengan bangsal Pringgandani, ruangan ini dibuat
agar musuh tidak langsung lurus menuju sultan.
Bangsal
Pringgandani, berada di sebelah selatan ruangan Gajah
nguling. Ruangan ini memiliki 4 tiang utama segi empat berwarna hijau yang
berfungsi sebagai tempat menghadap para abdi dan dapat juga dipakai sebagai
tempat sidang warga keraton sewaktu-waktu.
Bangsal
Prabayasa, berada di selatan bangsal Pringgandani.
“Prabayasa” berasal dari kata praba artinya sayap dan yasa artinya besar
berarti bahwa Sultan melindungi rakyatnya dengan kedua tangannya yang besar.
Pada dinding ruangan bangsal Prabayasa juga terdapat relief
yang diberi nama Kembang Kanigaran (lambang kenegaraan) yang
dimaksudkan sebagai pangeling (pengingat) bahwa Sultan dalam
pemerintahannya harus welas asih pada rakyatnya.
Bangsal
Agung Panembahan, dibangun bersamaan dengan bangunan keraton
sewaktu masih bernama keraton Pakungwati tahun 1529, merupakan
ruangan yang berada di selatan dan satu meter lebih tinggi dari bangsal
Prabayaksa. Fungsinya sebagai singgasana Gusti Panembahan.
Pungkuran,
berasal dari bahasa Cirebon pungkur (halaman
belakang rumah) merupakan ruangan serambi yang terletak di belakang keraton.
Kaputran,
berada di sebelah timur Bangsal Pringgandani, berfungsi sebagai
tempat tinggal para putra
Kaputren,
berada di sebelah barat Bangsal Pringgandani, berfungsi sebagai
tempat tinggal para putri yang belum menikah
Dapur
Maulud, berada di depan Kaputren (tempat
para putri) menghadap timur, berfungsi sebagai tempat memasak persiapan
peringatan Maulid Nabi SAW.
Pamburatan,
berada di selatan Kaputren. Pamburatan / Burat berasal
dari bahasa Cirebon (membuat boreh atau bubuk), Pamburatan berfungsi
sebagai tempat mengerik kayu-kayu wangi (kayu untuk boreh) untuk kelengkapan
selamatan Maulud Nabi SAW.
Keraton Kasepuhan menjadi inspirasi Mataram
Atap pada museum
Sonobudoyo yang terinspirasi dari atap Limasan
Lambang-teplok milik Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Keraton Kasepuhan yang
dibangun oleh Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1529 dan dahulu dinamakan
keraton Pakungwati ini telah memberikan inspirasi bagi kesultanan Mataram dalam membangun keraton
dan bangunan penunjangnya, menurut Yuwono Suwito ( anggota tim ahli cagar
budaya dan dewan pertimbangan pelestarian warisan budaya provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) ) inspirasi yang diambil oleh Mataram dari bentuk
arsitektur keraton Kasepuhan salah satunya adalah arsitektur dari Siti
Inggil keraton Kasepuhan yang diadopsi oleh Sultan Agung
Mataram dengan membuat Siti Inggil bagi
keraton Mataram di Yogyakarta. Pada prosesnya, Siti Inggil keraton
Kasepuhan dijadikan dasar acuan pembuatannya.
“
|
Beberapa
arsitektur Keraton Kasepuhan Cirebon yang diadopsi oleh Keraton Yogyakarta,
dikarenakan Keraton Cirebon jauh lebih tua dibandingkan dengan Keraton
Yogyakarta, bahkan lebih tua dari sejarah awal Kerajaan Mataram Islam
Yuwono Suwito ( anggota tim ahli cagar budaya dan dewan pertimbangan pelestarian warisan budaya provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ) |
”
|
Selain Siti Inggil keraton
Mataram di Yogyakarta, bangunan lain yang terinspirasi dari kompleks keraton
Kasepuhan adalah Masjid Margo Yuwono yang terletak di dalam benteng Baluwerti
(benteng Kraton) tepatnya di Langenastran, kelurahan Panembahan,kecamatan Kraton, Kota
Yogyakarta. Arsitek pembangunan masjid Margo Yuwono yaitu Ir. Thomas
Karsten membangun brunjung (atap yang paling tinggi) mesjid
dengan mengadopsi dari arsitektur atap Tajug Wantah bercukit, adapun tritisan (bagian
perpanjangan atau tambahan dari atap utama) yang terdapat pada bagian utama
masjid dan bagian serambinya menggunakan pola konstruksi cukit (Garpu)
seperti yang digunakan pada tritisan di bangunan terbuka area Siti
Inggil keraton Kasepuhan.
Selain bangunan masjid,
bangunan Museum yang juga dirancang oleh Karsten seperti museum
Sonobudoyo juga terinspirasi dari arsitektur atap Masjid Agung Sang Cipta Rasa milik kesultanan Kasepuhan yang berbentuk Limasan
lambang-teplok dengan mengadopsi pola konstruksi cukit pada
hampir keseluruhan bangunan Museum.
Keraton Kasepuhan sebagai Objek Vital
Keraton Kasepuhan berserta keraton
Kanoman, ditetapkan menjadi objek vital yang harus
dilindungi. Penilaian tersebut berdasarkan pertimbangan dari institusi
kepolisian, dengan adanya penilaian tersebut maka kepolisian setempat wajib menempatkan
personilnya untuk melakukan penjagaan di keraton tersebut, termasuk di
antaranya keraton Kasepuhan.
“
|
di
antara pertimbangannya yakni keraton merupakan situs sekaligus aset bukan
hanya kesultanan tetapi juga negara dan masyarakat kota
Cirebon, sehingga harus dijaga dan diamankan kelestariannya (Dani
Kustoni - Kapolres Cirebon Kota)
|
”
|
.
Sebagai bentuk realisasi
pengamanan objek vital, maka keraton harus dijaga oleh personil kepolisian
-
Pengamanan, 2 personil,
-
Patroli 2 personil
-
Pengamanan kegiatan keraton,
minimal 10 personil (khusus untuk pengamanan kegiatan yang berskala
besar, maka diadakan pengamanan penuh yang melibatkan lebih banyak personil
kepolisian).
dijadikannya keraton
Kasepuhan sebagai objek vital disambut baik oleh Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja
Adipati Arief Natadiningrat, menurut Sultan Sepuh XIV, penetapan keraton
sebagai objek vital merupakan sebuah tanda atau pengakuan akan pentingnya
keraton itu sendiri.
“
|
Selain
sebagai aset, keraton juga kan banyak didatangi wisatawan baik lokal maupun
mancanegara - (Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat)
|
”
|
Sejarah kesultanan Kasepuhan
Pada masa kepemimpinan Sultan
Sepuh V Sultan Sjafiudin Matangaji, Sultan Sepuh V melakukan
banyak perbaikan pada kompleks Taman sari
Gua Sunyaragi yang digunakan sebagai tempat mengkhusukan diri
kepada Allah swt sekaligus markas besar prajurit kesultanan dan gudang serta
tempat pembuatan senjata, disamping Taman sari
Gua Sunyaragi,kesultanan Kasepuhan memiliki markas
prajurit lainnya, yaitu di desa Matangaji yang sekarang masuk
dalam wilayah administrasi kecamatan
Sumber, kabupaten
Cirebon. Aktifitas yang ada di Taman sari
Gua Sunyaragi kemudian menarik perhatian Belanda untuk kemudian
menyerangnya, Sultan Sepuh V Sultan Sjafiudin Matangaji pun
gugur pada tahun 1786, tidak lama setelah wafatnya Sultan Sepuh V
Sultan Sjafiudin Matangaji, saudara sultan yaitu Pangeran Raja
Hasanuddinmenggantikan dirinya untuk memimpin kesultanan Kasepuhan, sementara Taman sari
Goa Sunyaragi hanya tinggal puing-puing akibat penyerangan
Belanda.
Pada tahun 1852, Pangeran
Adiwijaya yang kelak menjadi wali bagi Pangeran Raja Satria,
membangun kembali dan memperkuat Taman air Gua
Sunyaragi, dia memperkjakan seorang aristek beretnis tionghoa, namun
kemudian arsitek tersebut ditangkap dan dipaksa mengatakan seluk-beluk Taman air Gua
Sunyaragi kepada Belanda untuk kemudian dibunuh. Terbongkarnya
aktifitas di Taman air Gua
Sunyaragi membuat Pangeran Adiwijaya memerintahkan kepada para
bawahan dan para prajurit untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan
terjadi, akhirnya keputusan diambil untuk mengungsikan seluruh persenjataan dan
para prajurit keluar dari Taman air Gua
Sunyaragi, sehingga penyerangan Belanda yang terjadi kemudian tidak
mendapatkan apa-apa.
Silsilah
- Sunan Gunung Jati (Syarief
Hidayatullah) (bertahta dari 1479 - 1568)
- P. Adipati Pasarean (P. Muhammad
Arifin) (hidup dari 1495 - 1552)
- P. Dipati Carbon (P. Sedang
Kamuning) (hidup 1521 - 1565)
- Panembahan Ratu Pakungwati I (P.
Emas Zainul Arifin) (bertahta dari 1568 - 1649)
- P. Dipati Carbon II (P. Sedang
Gayam)
- Panembahan Ratu Pakungwati II
(Panembahan Girilaya) (bertahta dari 1649 - 1666)
b. Setelah pembagian kesultanan Cirebon, Kasepuhan dipimpin
oleh anak pertama Pangeran Girilaya yang bernamaPangeran Syamsudin
Martawidjaja yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan Sepuh I.
- Sultan Sepuh I Sultan Raja
Syamsudin Martawidjaja (bertahta dari 1679 - 1697)
- Sultan Sepuh II Sultan Raja
Tajularipin Djamaludin (bertahta dari 1697 - 1723)
- Sultan Sepuh III Sultan Raja
Djaenudin (bertahta dari 1723 - 1753)
- Sultan
Sepuh IV Sultan Raja Amir Sena Muhammad Jaenuddin (bertahta dari 1753 - 1773)
- Sultan Sepuh V Sultan Sepuh
Sjafiudin Matangaji (bertahta dari 1773 - 1786)
- Sultan Sepuh VI Sultan Sepuh
Hasanuddin (bertahta dari 1786 - 1791) bertahta menggantikan saudaranya
Sultan Sepuh V Sultan Sjafiudin Matangaji
- Sultan Sepuh VII Sultan Sepuh
Djoharudin (bertahta dari 1791 - 1815)
- Sultan Sepuh VIII Sultan Sepuh
Radja Udaka (Sultan Sepuh Raja Syamsudin I) (bertahta dari
1815 – 1845 menggantikan saudaranya Sultan Sepuh VII Sultan
Djoharuddin
- Sultan Sepuh IX Sultan Radja
Sulaeman (Sultan Sepuh Raja Syamsudin II) (bertahta dari 1845
- 1853)
- Perwalian oleh Pangeran Adiwijaya
bergelar (Pangeran Syamsudin IV) (menjadi wali bagi Pangeran
Raja Satria dari 1853 - 1871)
- Pangeran Raja Satria (memerintah
dari 1872 - 1875) mewarisi tahta ayahnya Sultan Sepuh IX Sultan Radja
Sulaeman sebagai putera tertua Sultan Sepuh IX yang sah,
setelah meninggalnya walinya yaitu Pangeran Adiwijaya sesuai dengan penegasan
Residen Belanda untuk Cirebon tahun 1867
- Pangeran Raja Jayawikarta
(memerintah dari 1875 - 1880) menggantikan saudaranya Pangeran Raja
Satria
- Sultan Sepuh X Sultan Radja
Atmadja Rajaningrat (bertahta dari 1880-1885) diangkat sebagai Sultan
untuk menggantikan saudaranya yaitu Pangeran Raja Jayawikarta
- Perwalian oleh Raden Ayu
(Permaisuri Raja) menjadi wali bagi Pangeran Raja Adipati Jamaludin Aluda
Tajularifin dari 1885 - 1899
- Sultan Sepuh XI Sultan Sepuh
Radja Jamaludin Aluda Tajularifin (bertahta dari 1899 - 1942)
- Sultan Sepuh XII Sultan Sepuh
Radja Radjaningrat (bertahta dari 1942 - 1969)
- Sultan Sepuh XIII Pangeran Raja
Adipati DR.H. Maulana Pakuningrat. SH (bertahta dari 1969 - 2010)
- Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja
Adipati Arief Natadiningrat. SE (bertahta dari 2010 - sekarang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar